Monday, June 23, 2008

Apa Pantas Berharap Surga?

Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah? Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata. Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman? Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi. Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah? Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak? Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri? Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah? Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan. Astaghfirullaah ... catatan akhir ramadhan
Einsten, Ali, Barghouti dan Perjalanan ke Dalam Hati"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati tuhan." Kata-kata jujur itu terlontar dari mulut Albert Einsten puluhan tahun yang lalu. Besso, sang sahabat yang selalu menyediakan waktunya untuk mendengar ide-ide Einsten, hanya mampu terperangah kaget mendengar ungkapan hati sahabatnya itu. Ia selalu terpesona pleh ambisi-ambisi Einsten. Dalam usianya yang ke-26 saja, Einsten telah menyelesaikan tesis Ph.D, satu tulisan ilmiah tentang photon dan satu tulisan tentang gerak Brownian. Proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Einsten kini adalah konsepsi tentang relativitas waktu. Besso sama sekali tidak pernah menduga bahwa dibalik apa yang selama ini telah diraih oleh sahabatnya itu, ternyata Einsten masih menyimpan satu pencarian batin, yang ia tahu tidak akan pernah dapat dipecahkan secara empiris oleh sahabatnya itu. Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu. Besso tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi ungkapan hati sahabatnya. Besso hanya bisa berpaling ke arah bawah jembatan tempat mereka berada. Ia memandangi perahu berwarna keperakan dalam kemilau matahari senja di sungai Aare. Namun, raut wajah kerinduan untuk mendekati tuhan di wajah Einsten membuyarkan pemandangan indah senja itu. Besso merasa ganjil. Bagaimana mungkin orang yang selama ini terbiasa menyendiri dan sangat tertutup seperti Einsten memiliki kerinduan untuk mendekati Tuhan? Setting cerita berpindah dari pemandangan dua orang sahabat pada suatu senja di jembatan sungai Aare, Jerman, ke suatu siang di tanah pertanian seluas 35 hektar di Berrien Springs, Michigan, puluhan tahun kemudian. Hari itu tanggal 11 September 2001. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dan pemilik tanah pertanian tersebut sedang duduk di halaman rumahnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari majalah Reader's Digest, salah satu majalah beroplah tertinggi di dunia. Kejadian yang menyentak rakyat Amerika tadi pagi, runtuhnya WTC dan dituduhnya teroris muslim yang terlibat dalam aksi tersebut, membuat Muhammad Ali menerima begitu banyak tawaran wawancara. Pendapatnya sebagai seorang muslim tiba-tiba menjadi begitu penting dalam menanggapi kejadian tersebut. RD : "Orang-orang muslim dituduh bertanggung jawab dalam penyerangan ke WTC pagi ini, bagaimana pendapat anda?" Ali : "Saya marah karena orang-orang menuduh Islam yang menyebabkan kehancuran yang disebabkan oleh fanatik rasis ini. Pelakunya bukan orang-orang muslim, karena Islam adalah negara yang mencintai kedamaian. Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme ataupun membunuh orang." RD : "Bagaimana anda menjalani hidup sebagai seorang muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan tersebut bagi anda?" Ali : "Menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika tidaklah mudah. Pertama kali saya mengumumkan keislaman saya, orang-orang berfikir itu adalah sesuatu yang lucu. Saya mengerti mereka berpendapat demikian karena perubahan drastis yang saya lakukan terhadap hidup saya. Namun, Islam bagi saya adalah sebuah tiket ke surga. Kita semua akan mati dan akan ada hari pembalasan. Adanya hari pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang saya lakukan membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah dan memperlakukan orang lain. Saya selalu membawa sebungkus korek api kemanapun saya pergi. Setiap kali saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya menurut keyakinan agama saya, saya menyalakan korek api tersebut dan merasakan panasnya api korek tersebut di jari-jari saya sampai saya kesakitan. Setelah itu, saya meyakinkan diri saya bahwa api neraka lebih panas daripada apa yang baru saya rasakan dan sifatnya abadi. Sayapun urung melakukan perbuatan dosa yang akan saya lakukan." Setting cerita berpindah lagi ke Timur Tengah, tepatnya di kota Ramallah, Palestina, pada tanggal 15 April 2002. Kota Ramallah dikejutkan oleh berita tertangkapanya sang tokoh Intifadah, Marwan Barghouti, oleh Israel. Bukan hanya kota Ramallah, seluruh Palestina dikejutkan oleh berita ini. Bahkan di Lebanon, kelompok Hizbullah bereaksi keras dengan memperingatkan Israel agar memperlakukan Barghouti secara manusiawi. Bahkan, faksi yang berhasil mengusir Israel dari Lebanon Selatan pada Mei 2000 lalu itu, mengancam jika Barghouti disakiti, mereka akan membidik balik Sharon. Marwan Barghouti, ayah tiga orang putra dan satu orang putri ini adalah seorang tokoh utama gerakan intifadah. Barghouti adalah pengganti Khalid Al-Wazir, alias Abu Jihad, seorang pendiri gerakan intifadah yang tewas diberondong peluru tentara Israel pada April 1988. Barghouti, seorang doktor di bidang politik kelahiran 1959 dan juga pengajar di Universitas Al-Quds ini, telah berjuang untuk bangsanya sejak ia masih muda. Bahkan Israel pernah menjebloskannya ke penjara sebelumnya selama enam tahun. Sejak 1978, berbagai upaya penangkapan dan pembunuhan telah dilancarkan Israel terhadap Barghouti, sampai akhirnya mujahid ini tertangkap 15 April lalu. Sampai sekarang tidak jelas apakah Barghouti masih hidup atau tidak, tetapi satu yang jelas bahwa gerakan intifadah di tanah Palestina tidak surut oleh tertangkapnya Barghouti. Coba cermati. Tiga cerita diatas, walaupun memiliki setting, waktu, pelaku, bahkan alur yang berbeda, tetapi memiliki sebuah persamaan yang signifikan. Para pelaku dari ketiga cerita di atas memiliki suatu motor penggerak di dalam hati mereka masing-masing yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan hati nurani mereka. Masing-masing dari mereka, Einsten, Ali dan Barghouti, menciptakan suatu karya fenomenal, melakukan suatu perubahan yang mengejutkan dan berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya karena suatu alasan yang mereka anggap layak dan tepat. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu semua. Albert Einsten, mampu melahirkan suatu karya fenomenal yang membuatnya tetap dikenang hingga kini, yaitu Teori Relativitas, karena dorongan hatinya untuk lebih mengenal dan mendekat pada tuhan. Alasan ini cukup menyentuh, mengingat Einsten adalah seorang yahudi. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu alasan utama dibalik keberhasilan Einsten dan Teori Relativitasnya tersebut. Ataukah hal ini memang sengaja ditutup-tutupi dan disembunyikan? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan hanya Allah jugalah yang mampu mengetahui apakah ia telah berhasil menemukan pencarian batinnya tersebut sebelum ia meninggal. Bukankah hanya Allah lah yang memiliki kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia? Ia akan memberikan hidayahNya hanya kepada orang-orang yang Ia anggap layak untuk menerima hidayah tersebut. Muhammad Ali, yang bermetamorfosa dari seorang Cassius Clay yang identik dengan dunia glamour dan penuh kesenangan yang bersifat duniawi menjadi seorang muslim yang survive di negara dimana hedonisme berkiblat, yaitu Amerika dan kemudian melakukan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupannya karena suatu alasan yang kuat. Ia berubah karena ia yakin telah menemukan kebenaran yang hakiki, yaitu islam, yang membawanya menemukan kedamaian. Ia dan korek api yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi telah cukup menggambarkan kepada kita keyakinannya terhadap keberadaan Allah dan terhadap adanya hari pembalasan. Barghouti dan gerakan intifadahnya juga telah membuktikan bahwa rasa cinta terhadap Sang Khalik mampu mendorong seseorang untuk melakukan apa saja. Rasa cintanya tersebut ia anggap cukup layak untuk ia jadikan alasan melakukan suatu pengorbanan bahkan pengorbanan terbesar seperti mengorbankan nyawanya sekalipun. Kisah hidup tokoh intifadah ini menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta, sehingga rasa cinta tersebut mampu menjadi suatu motor penggerak dalam kehidupan manusia. Mudah-mudahan kita semua tidak terlalu arogan untuk mau sejenak bercermin terhadap ketiga kisah diatas dan mencoba untuk menata kembali rencana-rencana yang telah kita buat untuk memanfaatkan sisa hidup kita. Jangan pernah merasa enggan untuk bercermin dan mencoba berkata jujur kepada diri kita masing-masing, bahkan terhadap seorang yahudi seperti Einsten sekalipun. Bukankah filosofi Ibnu Sina mengajarkan kepada kita agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencapai kebenaran? Lalu mengapa kita masih saja suka mempertahankan filosofi "kacamata kuda" Rene Descartes yang berpandangan satu arah? Lakukanlah perjalanan ke dalam hati kita masing-masing dan coba tengok sejenak apakah yang selama ini telah memotivasi kita untuk melakukan segala aktivitas kita adalah murni karena Allah? Ataukah kita memberikan kavling yang lebih luas terhadap popularitas, gengsi, materi dan segala sesuatu selain Allah lainnya untuk menempati hati kita dan menjadi motor penggerak kehidupan kita? Hanya kitalah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Cobalah untuk mendengarkan kata hati kita dan meluruskan kembali niat kita. Bukankah selama hidupnya Rasulullah juga lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah hampir tidak pernah berceramah. Khutbahnyapun tidak pernah lama. Lalu mengapa kita tidak coba meniru Rasulullah dengan mulai menjadi pendengar yang baik terhadap sesuatu yang sangat dekat dengan kita, yaitu hati nurani kita. Wallahu'alam bishawaab.

No comments: